SELASI – CERITA SELASI, ASA MBAK PENJUAL SATE AYAM KELILING.
“Mbak, mbak” seorang perempuan penjual sate ayam keliling menyapaku sore itu. “Mbak, lupa ya sama saya?” tanyanya lagi. Aku, yang sedang memilih pisang di salah satu pasar di Jogja, mengamati lekat wajah penjual sate yang sedang membakar sate ayam pesanan penjual pisang. Siapa ya dia, ah sial kenapa aku bisa lupa begini, batinku lagi.
Perempuan itu bersuara lagi, “Saya yang dulu jualan sate ayam keliling di stasiun Lempuyangan, mbak. Dulu mbak sering khan bawa anak laki-laki kesana sore hari untuk melihat kereta. Saya dulu yang tanya makanan bayi dan susu kaleng yang kata mbaknya itu susu hewan, mbak.”
Ingatanku samar-samar melayang kembali ke sepenggal kejadian bertahun-tahun yang lalu. Kala itu, usia anakku hampir dua tahun. Beberapa hari sekali aku memang momong anakku di stasiun kereta itu.
Kududukkan anakku di bangku yang ada di peron stasiun sambil kusuapi makan sore, kadang sekedar kudapan, atau pun buah segar. Setelah menghabiskan makanannya, kubiarkan anakku berjalan-jalan di sekitarku melihat-lihat kereta dan penumpang yang lalu lalang di sana.
—–
“Anaknya kelihatan sehat banget mbak, makannya juga gampang banget ya,” sapa seorang perempuan penjual sate keliling di Stasiun Lempuyangan sore itu.
“Saya sering lihat mbak sama anaknya kesini sore-sore, sambil nyuapin anaknya itu,” lanjutnya sambil menunjuk dan menatap anakku yang sedang berjalan kesana kemari di depanku.
Tatapan mata anakku tak lepas dari kereta api yang beranjak berjalan ke kota tujuannya.
“Alhamdulillah mbak,” jawabku.
“Susunya apa mbak?” tanyanya kemudian.
“ASI saja,” jawabku.
“Tanpa susu formula mbak?” tanyanya lagi
“Hanya ASI-ku saja mbak sampai usia 6 bulan, setelah itu ASI dan makanan pendamping ASI,”jawabku
“Makannya dulu bubur bayi merk apa?” lanjutnya bertanya lagi
“Nasi sama sayur dan lauk yang ada di rumah, yang kulembutkan lalu kusaring. Itu awal-awal makan, aku ndak pernah beli bubur bayi mbak,”jawabku.
Tiba-tiba dia tertawa keras sambil berkata, “Owalah mbak, mbak. Lha saya ini, direwangi* kerja keras jualan sate keliling pagi dan sore, kadang ya sampai kehujanan, cuma buat cari tambahan beli susu kaleng dan bubur bayi seperti orang-orang gedongan itu mbak. Lha kok mbaknya malah anaknya cuma diberi ASI sama bubur buatan sendiri. Apa ya ada gizinya tho mbak-mbak. Jangan pelit-pelit buat anak mbak. Apa ndak kepingin anaknya pintar seperti iklan-iklan di tivi itu ?”
Dia menatapku keheranan sambil geleng-geleng kepala tanda tak habis pikir dengan jawabanku.
Sambil bercanda kujawab, “Oh pengen anaknya sehat dan pintar ya mbak, bagus dong.”
“Lha iya tho mbak,”tukasnya.
“Lah mbak, anakku ini khan anak ibunya tho mbak, ya minumnya air susu ibunya dong mbak. Makanannya juga makanan yang dibuat manusia. Kecuali kalau anakku ini anak sapi atau anak hewan ya kuberi minuman dari ibu hewan mbak. Makanannya juga akan kuberi seperti makanan hewan, buatan pabrik.”
“Anakku juga nyusu kok mbak, tapi kalau kutinggal jualan ya kuberi susu kaleng. Biar ndak nangis, juga sekalian menambah gizi biar sehat dan pintar besok waktu besar,” jawabnya lagi.
“Khawatir ya mbak kalau anaknya sakit-sakitan dan ndak pintar,” pancingku
“Lha iya mbak, yang bodho dan miskin biar bapak ibunya saja. Saya ya inginnya anak-anak saya pintar, sehat, dan hidup kepenak tho mbak, “jawabnya sambil mengipasi sate ayam dan melayani pembeli.
“Mbak, percaya ndak kalau buatan Gusti Allah itu selalu yang terbaik, lebih baik dari buatan manusia dan pabrik?” tanyaku
“Ya percaya tho mbak, wah ngece* lho mbaknya ini,” jawabnya.
“Begini-begini saya ya rajin mengaji mbak, saya juga mengerti kalau buatan Gusti Allah is the best,” imbuhnya.
“Lha itu sudah pintar. Itu kenapa saya beri anak saya buatan Gusti Allah yang kata mbak sate is the best. ASI khan buatan Gusti Allah mbak, bayam, kangkung, pisang, telur, ikan, juga buatan Gusti Allah. Sudah pasti is the best tho mbak gizinya,” ledekku.
“Tapi khan kalau susu kaleng dan bubur bayi merk ini itu khan ada tambahan vitaminnya mbak, berarti lebih sehat dong,” kejarnya.
“Lha itu tambahan vitaminnya buatan siapa?” tanyaku lagi
“Ya buatan pabrik mbak, buatan manusia berarti,” jawabnya ragu
“Lha tadi katamu buatan Gusti Allah is the best,” jawabku sambil nyengir. Dia tidak berkata-kata lagi. Kubiarkan dia memikirkan kembali obrolan kami.
Setelah sore itu, aku mengingatnya sebagai penjual sate ayam yang selalu memindahkan jualannya ke dekat tempat aku dan anakku duduk. Sambil melayani pembeli, dia selalu bertanya banyak tentang menyusui, makanan bayi, kudapan sehat, dan kesehatan anak.
Tidak jarang dia mengintip isi tempat makan anakku yang kubawa. Lalu dia bertanya-tanya bahan dan cara membuatnya. Kami tidak pernah bertemu lagi setelah Stasiun Lempuyangan direnovasi dan diberlakukan aturan penataan stasiun.
—–
“Anaknya berapa sekarang mbak?” tanyanya lagi. Ah aku tersadar dari lamunanku dan kembali mengingat penjual sate ini.
“Oh tetap satu saja mbak, paket hemat hahaha,” jawabku sambil bercanda.
“Anakku sudah empat mbak. Anak sulung yang dulu kuberi susu kaleng dan bubur bayi dari pabrik itu sudah SMP mbak. Lalu anak kedua sudah SD, anak ketiga masih TK, dan yang kecil belum dua tahun mbak” kisahnya.
“Wah produktif banget ya mbak, hahaha,” jawabku usil sambil tertawa. Kulihat dia hanya nyengir* saja.
“Eh mbak, aku melu-melu* caramu lho mbak. Anak kedua sampai keempat kususui saja mbak, maemnya juga seperti yang dulu mbaknya ngajari. Saya sampai belajar ke ibu kader di posyandu sama tanya di puskesmas lho mbak, “ceritanya lagi.
“Weh kok tambah pintar sekarang mbak sate,”pujiku tulus.
“Iya mbak, ternyata omonganmu dulu itu benar semua. Anakku yang nomer dua sampai empat jarang banget sakit mbak, lebih pintar-pintar juga dibanding yang nomer satu. Wah dosaku akeh mbak ke anak nomer satu, “katanya tampak menyesal.
“Jadi, aku bukan ibu pelit tho hahaha,”ejekku sambil tertawa. Penjual pisang pun ikut tertawa mendengar obrolan kami.
“Halah mbak, sudah tho, aku sudah mengaku dosa ini lho mbak,” jawabnya sambil tersipu.
“Kalau ndak tahu ya ndak dosa mbak. Nah buat mengurangi dosa, sekarang mbak sate harus ngajari ibu-ibu lain untuk nyusoni* bayinya ya. Juga ibu-ibu yang lain diajari bikin makanan bayi yang sehat, gimana mau ndak?” tantangku.
“Iya mbak, aku sekarang juga cerewet kok sama tetangga-tetanggaku mbak,” katanya sangat bersemangat.
Aku lalu membayar pisang-pisangku. Kutinggalkan mbak sate setelah bersalaman dan mengambil bungkusan sate pesananku. Sepotong sore yang menghangatkan hati.
Penulis :
Fitri Andyaswuri
Konselor Menyusui dan Konselor PMBA Selasi di Jogja
Keterangan tambahan :
*direwangi = dibantu
*ngece = mengejek
*nyengir = tersenyum kecil
*melu-melu = mengikuti
*maemnya = makannya
*ngajari = mengajarkan
*akeh = banyak
*nyusoni = menyusui
Asik membacanya menyusui dari sisi yg lain
Terima kasih sudah membaca cerita di web kami, jika ada pertanyaan atau masukan boleh dibagikan kepada kami yaa.